This site uses cookies.
Some of these cookies are essential to the operation of the site,
while others help to improve your experience by providing insights into how the site is being used.
For more information, please see the ProZ.com privacy policy.
This person has a SecurePRO™ card. Because this person is not a ProZ.com Plus subscriber, to view his or her SecurePRO™ card you must be a ProZ.com Business member or Plus subscriber.
Affiliations
This person is not affiliated with any business or Blue Board record at ProZ.com.
Services
Translation
Expertise
Specializes in:
Advertising / Public Relations
Education / Pedagogy
Also works in:
Social Science, Sociology, Ethics, etc.
More
Less
Rates
Payment methods accepted
MasterCard
Portfolio
Sample translations submitted: 2
Indonesian to English: STUDI MODEL STRUKTUR TARIF PELABUHAN DAN REGULASI TRANSPORTASI LAUT SEBAGAI BAGIAN DARI SISTEM LOGISTIK NASIONAL
Source text - Indonesian Dalam mendukung kelancaran Sistem Logistik Nasional (SISLOGNAS) setidaknya terdapat 3 (tiga) komponen utama yang harus saling bersinergi dengan baik, yakni sisi laut (transportasi laut), sisi darat (transportasi hinterland) dan bagian yang menghubungkan antara keduanya (pelabuhan). Pelabuhan sebagai salah satu mata rantai dalam rantai pasok (supply chain) sistem logistik nasional, memiliki peran yang sangat signifikan dalam menjamin kelancaran sistem logistik nasional tersebut. Kinerja pelabuhan akan sangat mempengaruhi kinerja sistem logistik nasional secara keseluruhan.
Salah satu indikator penilaian kinerja logistik suatu negara adalah kemudahan untuk mengatur pengiriman barang dengan harga yang kompetitif, berdasarkan laporan Bank Dunia (World Bank) biaya logistik di Indonesia cukup tinggi dibanding negara lain, yakni 24% dari PDB . Hal tersebut menjadi persoalan serius apabila dikaitan dengan Visi Indonesia untuk menjadi Poros Maritim Dunia, karena dengan biaya logistik yang tinggi akandapat menghambat laju perekonomian nasional. Salah satu komponen penyusun biaya logistik yang menjadi perhatian banyak pihak adalah biaya pelabuhan yang dinilai masih terlalu tinggi, sehingga diperlukan suatu studi terkait struktur tarif pelabuhan dan regulasi yang terkait didalamnya.
Laporan ini adalah merupakan laporan akhir Studi Model Struktur Tarif Pelabuhan dan Regulasi Transportasi Laut sebagai Bagian dari Sistem Logistik Nasional. Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi struktur tarif jasa layanan kepelabuhanan di Indonesia serta peraturan yang terkait didalamnya.Hasil akhir dari studi ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan dalam menyusun dan menentukan langkah kebijakan yang akan diambil terkait pentarifan jasa layanan kepelabuhanan.Mengingat peran dan fungsi pelabuhan yang vital dalam Sistem Logistik Nasional, maka regulasi yang terkait dengan pelabuhan, khususnya yang terkait dengan struktur tarif pelabuhan dan model pentarifan harus menjadi prioritas sehingga diharapkan biaya logistik dapat ditekan.
Akhir kata, semoga hasil studi ini dapat memberikan manfaat. Kami selaku tim kajian menyampaikan terima kasih atas kepercayaan yang diberikan dan kerjasama dari semua pihak dalam penyelenggaraan studi ini khususnya kepada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) dan Asian Development Bank (ADB). Kami sangat mengharapkan masukan dalam bentuk komentar atau kritik dan saran yang konstruktif dari berbagai pihak yang berkepentingan baik secara langsung maupun tidak terhadap hasil studi ini.
Translation - English In order to support National Logistics System continuity there are at least three (3) main components that should synergize well, namely the sea (sea transport), the land side (hinterland transport) and the part that connects between the two (port). Ports as one link in the supply chain national logistics system, has a very significant role in ensuring the smooth running of the national logistics system. Port performance will greatly affect the performance of the national logistics system as a whole.
One of the indicator of a country's logistics performance evaluation is the ease of arranging shipments of goods at competitive prices (shipment). According to a World Bank report, logistics costs in Indonesia is quite high compared to other countries, which is 24% of GDP. This is a serious problem when associated with Indonesian Vision to become World Maritime Axis,because high cost of logistics will inhibit the rate of the national economy. One of the components of logistics costs which become concern of many parties is the port costs, in order to support the national high logistics cost reduction, study related to the port tariff structure and its associated regulations is needed.
This report is the final report of study of Port Tariff Structure and Regulation as Part of National Logistics System. This study aims to identify the tariff structure for port services and its associated regulations. The final result of this study are expected to be used as a matter to formulate and determining policy measures to be taken related to pricing port services.Given the vital role and function of port in the National Logistics System, the regulations related to the port, particularly with regard to the structure of port rates and pricing models should be a priority so that the cost of logistics can be reduce.
Finally, we hope the results of this study may provide good merits. We as the study team would like to thank for the trust and cooperation of all parties. We are expecting input in the form of comments or constructive critics and suggestions from various interested parties either directly or indirectly to the results of this study.
Indonesian to English: TERJADINYA TELAGA RANU GRATI General field: Art/Literary Detailed field: Poetry & Literature
Source text - Indonesian Alkisah, pada zaman dahulu kala ada sebuah desa bernama Ranu Klindungan. Desa itu dikelilingi hutan lebat karena pada waktu itu belum banyak daerah permukiman penduduk. Tanah Jawa masih berupa hutan belantara. Desa Klindungan itu aman, tenteram, dan damai. Tanahnya yang subur menghasilkan banyak bahan makanan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, seperti padi, jagung, ubi-ubian, dan sayur-mayur. Ikan untuk lauk dapat mereka peroleh di sungai-sungai yang ada di sekitar desa. Adapun daging untuk lauk pauk mereka dapatkan dengan cara berburu binatang, seperti kelinci, rusa, dan ayam hutan. Dengan keadaan seperti itu, Desa Ranu Klindungan menjadi desa yang makmur karena kebutuhan hidupnya telah dicukupi oleh alam. Sebagai perwujudan rasa syukur, setiap tahun masyarakat Desa Ranu Klindungan selalu mengadakan selamatan desa. Sesuai dengan adat yang berlaku pada desa tersebut, upacara selamatan desa selalu menggunakan daging. Daging diperoleh dengan cara berburu di dalam hutan.
Pada suatu hari Ki Wongsopati menemui Ki Demang Ranu Klindungan untuk mengingatkan Ki Demang agar segera mengadakan upacara selamatan desa karena tahun itu mereka belum melaksanakan tradisi desa itu. Ki Wongsopati khawatir Ki Demang Klindungan lupa. Ki Demang Klindungan adalah kepala desa, sedangkan Ki Wongsopati adalah tetua desa atau penasihat desa karena kebijaksanaan dan ilmunya. Setelah disepakati hari yang ditentukan, Ki Demang Klindungan segera mengumumkan pelaksanaan hari upacara selamatan desa itu. Sebagaimana biasa, untuk keperluan upacara digunakan daging binatang.
Oleh karena itu, keesokan harinya, hampir seluruh laki-laki warga Desa Ranu Klindungan itu pergi ke hutan untuk berburu, tidak terkecuali seorang kakek buta bernama Ki Kerti. Dengan berbekal sebuah pisau, Ki Kerti berjalan mengikuti warga desa lainnya masuk ke dalam hutan. Karena buta, tidak lama kemudian Ki Kerti pun tertinggal dan terpisah dari rombongan. Merasa tak mampu lagi melanjutkan perjalanan ke dalam hutan yang kian lebat dan banyak penghalang semak belukar, Ki Kerti memutuskan berhenti saja menunggu warga yang lain pulang agar tidak semakin tersesat. Dengan meraba-raba tempat sekelilingnya, Ki Kerti merasakan ada sebuah batang pohon rebah di tanah. Ia pun segera duduk untuk melepas lelah. Belum lagi enak duduknya, tiba-tiba ia mendengar sebuah suara.
”Kek, aku tahu Kakek tidak dapat melihat.”
”Si...si...apa kau?” tanya Ki Rati sambil tangannya menggapai-gapai.
”Tidak penting siapa aku, Kek. Apakah Kakek ingin dapat melihat?” tanya suara itu lagi.
”Ten...ten...tentu saja ingin. Alangkah senangnya dapat melihat. Ta...ta...pi bagaimana bisa. Kakek sudah begini sejak lahir.”
”Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, Kek. Aku dapat membantu Kakek asalkan Kakek berjanji tidak akan menceritakan keberadaanku ini pada siapa pun. Aku sedang bertapa, tidak ingin terganggu.”
”Ba...ba...baiklah. Ka...ka...kakek berjanji,” kata Ki Reti masih tergagap karena terkejut dan hampir tidak memercayai pendengarannya. Tangannya tetap menggapai-gapai, tetapi tidak ada apa pun di depannya.
”Kakek membawa pisau, kan? Coba goreskan pisau itu ke tempat yang Kakek duduki. Oleskan cairan yang keluar dari goresan itu ke mata Kakek.”
Setengah tidak percaya, Ki Reti meraba-raba tempat yang diduduki kemudian menggoreskan pisaunya. Seperti kata suara itu, dari goresan itu terasa ada cairan kental yang keluar. Dengan cepat, Ki Reti mengoleskan cairan itu. Mata Ki Reti tiba-tiba dapat melihat. Seketika pandangannya mengitari tempat itu. Alangkah terkejut saat mendekati dan menyibak dedaunan di atas batang yang diduduki itu karena ternyata adalah tubuh seekor ular yang sangat besar. Kepalanya terlindung di balik rimbun pepohonan yang rebah. Ki Kerti pun segera menjauh.
”Kek, jangan takut. Namaku Joko Baru. Sebelum pergi, ingatlah janji Kakek.”
”Ba...ba...baik, Joko Baru. Terima kasih. Aku pergi,” kata Kakek seraya berlari karena takut.
Sesampai di desa, orang-orang pun terkejut melihat Ki Kerti yang sudah terkenal buta sejak lahir ternyata dapat melihat. Karena gembiranya, Ki Kerti lupa pada janjinya. Ia menceritakan semua yang dialaminya kepada Ki Demang Ranu Klindungan. Ki Demang sangat senang mendengar ada ular besar, pikirnya bisa dijadikan santapan pesta.
”Ki, di mana ular itu?” tanya Ki Demang Ranu Klindungan tidak sabar.
”Di hutan sebelah Timur, Ki Demang. Dekat pohon besar yang roboh,” kata Ki Reti sambil menunjuk ke arah hutan di sebelah timur desa.
Setelah berkata itu, mata Ki Reti tiba-tiba mengatup kembali. Ki Reti merasakan dunia sekelilingnya gelap kembali. Ia mengucek-ucek matanya, tetapi tetap saja tidak dapat membuka, apalagi melihat. Ki Reti teringat janjinya pada Joko Baru. Ia sadar telah mengingkari janjinya, tetapi apa mau dikata. Nasi sudah menjadi bubur. Ki Demang bertanya kepada Ki Reti mengapa menjadi buta kembali. Ki Reti pun menceritakan bahwa ia sudah melanggar janjinya kepada Joko Baru. Mendengar hal tersebut, Ki Demang Ranu Klindungan marah. Ia segera memerintahkan seluruh warga yang sedang berburu kembali untuk membunuh Joko Baru dan menjadikan dagingnya sebagai sajian pesta.
Warga desa pun beramai-ramai membunuh dan memotong-motong tubuh ular Joko Baru. Mereka sangat senang karena tidak perlu berburu berhari-hari di dalam hutan sudah mendapatkan daging yang sangat banyak. Untuk pertama kalinya mereka akan selamatan dan pesta besar.
Pada hari selamatan desa, seluruh warga desa berkumpul di pendapa desa. Ki Wongsopati memimpin doa bersama. Setelah itu, dengan dipimpin Ki Demang Ranu Klindungan seluruh warga yang berkumpul di pendapa desa itu menyantap hidangan berupa hasil-hasil pertanian dan perkebunan warga. Tidak lupa daging hidangan pun diserbu warga. Mereka benar-benar pesta besar dengan hidangan utama daging ular Joko Baru.
Tanpa diketahui Ki Demang Klindungan, Ki Wongsopati, dan warga Desa Klindungan, berita dibunuhnya Joko Baru sampai ke telinga Kiai Syeh Begawan Nyampo. Kiai Syeh Begawan Nyampo adalah ayah Joko Baru. Walaupun berujud ular, Kiai Syeh Begawan Nyampo tetap menyayangi anaknya yang sedang disuruhnya bertapa itu. Kiai Syeh Begawan Nyampo yang tinggal di Pulau Bawean pun segera berangkat ke tanah Jawa untuk mengambil daging anaknya agar dapat dikuburkan secara layak di Bawean.
Sesampai di Desa Ranu Klindungan, Kiai Syekh Begawan Nyampo melihat warga desa masih berpesta pora. Begawan Nyampo sangat sedih. Ia berjalan mengelilingi desa untuk mencari tahu. Di pinggiran desa, ia melihat ada seorang janda tua sedang duduk termangu di depan gubuknya. Janda itu bernama Nyai Le. Begawan Nyampo pun mendekat.
”Saya melihat semua warga di sini ikut pesta. Mengapa Nenek malah termangu di rumah?” sapa Begawan Nyampo.
”Oh...oh...Kiai, mangga...mangga...saya takut,” jawab Nyai Le terkejut karena mendadak ada orang bertamu ke rumahnya. Ia pun tergopoh-gopoh menyilakan tamunya untuk masuk. ”Saya tak mau ikut makan daging ular. Mereka sudah membunuh ular yang sangat besar. Padahal, ular itu sudah menyembuhkan Ki Kerti. Kasihan,” kata Nyai Le setelah tamunya duduk.
”Ketahuilah Nyai, ular itu bernama Joko Baru. Ia putraku yang kusuruh bertapa supaya dapat berubah menjadi manusia seutuhnya,” kata Begawan Nyampo menahan sedih.
”Putra Kiai, benarkah? Sudah kuduga, tentulah bukan ular biasa,” jawab Nyai Le terkejut.
”Saya akan menghadap Ki Demang untuk minta daging anakku kalau masih sisa agar dapat saya kuburkan dengan layak. Nyai, terima kasih sudah mau menerima saya. Nyai punya lesung?”
”Ada, Kiai. Untuk apa ya?”
”Setelah saya pergi, Nyai, duduklah di dalam lesung itu. Nanti Nyai akan selamat.”
”Ta...ta...pi kema...?”
Belum lagi selesai pertanyaan Nyai Le, Begawan Nyampo sudah tidak terlihat. Nyai Le segera mengambil lesungnya yang terletak di belakang rumah. Sesuai dengan pesan Begawan Nyampo, ia pun duduk bersila di dalam lesung itu. Kebetulan seluruh warga desa masih berpesta pora di pendapa desa sehingga tidak ada yang menertawakannya.
Begawan Nyampo yang sudah sampai di tempat pesta segera mencari Ki Demang Ranu Klindungan. Ia pun menceritakan maksudnya ingin meminta sedikit daging anaknya. Ia sudah ikhlas anaknya menjadi santapan warga desa, tetapi ingin meminta sisa dagingnya agar dapat dikuburkan. Jangankan diberi daging ular itu, Begawan Nyampo malah mendapat cemooh dan hinaan dari orang-orang yang sudah dimabukkan oleh berbagai makanan. Tidak sedikit warga desa yang berusaha mengusir dan melukai Begawan Nyampo. Melihat keadaan warga desa yang sudah lupa diri itu, Begawan Nyampo tidak tinggal diam.
”Dengarkan saya, hai orang-orang Ranu Klindungan. Saya akan meninggalkan desa ini jika kalian bisa mengalahkan saya. Marilah kita bertarung di lapangan,” kata Begawan Nyampo dengan suara lantang dan berat menahan marah.
”Hai, kau menantang kami? Siapa takut! Mari...mari....kita kalahkan orang gila ini,” jawab Ki Demang Ranu Klindungan dengan marah.
Orang-orang pun segera mengikuti perintah Ki Demang. Mereka beramai-ramai menuju lapangan. Begawan Nyampo kemudian menancapkan sebatang lidi di tengah tanah lapang itu disaksikan warga Desa Klindungan yang merendahkannya.
”Jika ada di antara kalian yang dapat mencabut lidi ini, saya akan segera pergi dari sini. Siapa berani, silakan maju,” kata Begawan Nyampo.
”Ha...ha...ha...ha...dasar orang gila! Cuma lidi begitu, apa susahnya,” kata seorang warga yang bertubuh besar sambil maju ke arah lidi.
Dengan wajah dan gerak tubuh mengejek, lelaki itu pun mencabut batang lidi yang menancap di tengah lapangan. Batang lidi itu tidak bergerak sedikit pun. Berkali-kali dicoba tetap tidak berhasil meskipun segenap tenaganya sudah dikerahkan. Dengan malu dan marah, ia kembali ke tepi lapangan.
Demikianlah, satu per satu warga desa mencoba mencabut lidi itu. Tidak ada satu orang pun yang berhasil. Jangankan tercabut, lidi itu tidak bergeser barang satu senti pun. Ki Demang Ranu Klindungan marah karena merasa malu dan dipermainkan oleh Begawan Nyampo. Apalagi, saat Begawan Nyampo menyilakannya untuk mencabutnya sendiri karena seluruh warganya sudah mencoba dan tidak berhasil.
”Kurang ajar. Kau menantangku rupanya. Cuma ini yang kau punya. Ayo tancapkan lidimu yang lain, biar kucabuti semua,” katanya dengan sombong untuk menutupi rasa malu dan takutnya. Ia menyadari bahwa Begawan Nyampo bukan orang sembarangan, tetapi sudah terlanjur malu untuk mengakuinya.
”Silakan, kalau Ki Demang dapat mencabut itu nanti saya pasang lidi yang lain,” jawab Begawan Nyampo dengan ringan.
”Kurang ajar!!!”
Ki Demang Ranu Klindungan segera mencabut lidi itu dengan marah. Berkali-kali mencoba, tetap saja gagal hingga akhirnya terkapar tidak berdaya. Begawan Nyampo kemudian mendekati batang lidi disaksikan seluruh warga desa yang penasaran. Dengan mudah, batang lidi itu tercabut oleh tangan Begawan Nyampo.
Dari lubang lidi itu keluar air yang memancar sangat deras dan semakin lama semakin besar. Sebelum masyarakat desa itu menyadari apa yang terjadi, air sudah berada di mana-mana. Mereka berteriak-teriak berlarian ingin menyelamatkan diri. Ada yang memanggil-manggil anaknya, suaminya, atau istrinya. Tidak sedikit pula yang memanggil Begawan Nyampo untuk meminta pertolongan. Akan tetapi, semua itu sudah terlambat. Penyesalan mereka seakan tidak ada gunanya karena tidak lama kemudian, Desa Ranu Klindungan sudah berubah menjadi telaga.
Nyai Le turun dari lesung mendarat di pinggiran hutan yang lebih tinggi. Sejauh matanya memandang ke arah desa yang dilihat hanya air. Tidak terlihat atap-atap rumah, apalagi penduduk desa. Semuanya tenggelam. Desanya telah berubah menjadi telaga.
Translation - English A century ago, there was a village called Ranu Klindungan. It was a quiet area which was surrounding by woods. Java looks like a wild forest at that time. It made the village peaceful and safety. Plants, rice plants, sweet potatoes, vegetables grown here. They were enough to fulfil daily needs. The river gave them fishes. They were also gotten meat after going hunting for rabbit, deer, and chicken. Therefore, Ranu Klindungan became rich village since nature provided them all they need. And then, the society annually held ceremony to thanks God as the village became rich. It was a tradition that the ceremony must be meat related for the ritual offerings, then people have to go hunting to the forest.
One day Ki Wongsopati met Ki Demang Ranu Klindungan to remind to hold the ritual offerings of the village since he had not held the ritual yet. "Perhaps Ki Demang Klindungan almost forget about the ritual offerings." Ki Wongsopati thought. It is about the responsibility of Ki Wongsopati as an advisory figure of the village while Ki Demang Klindungan is the principal. By some discussions, Ki Demang Klindungan made and announced the decision of the day to hold the ceremony of the village. As the tradition, the ceremony will need animals' meat.
And then, almost all men of Ranu Klindungan went hunting on the next day. Among these men there was a sightless oldman named Ki Kerti. Ki kerti brought only a knife to go hunting. Unfortunately, he lost the group due to his sightless. Ki Kerti took a rest hoping that the group will find him. He tried to reach anything to find a place to take a rest. And then he found a fallen tree. He was just about to sit down on the fallen tree while he heard a voice.
"I know you are blind, Oldman."
"Who is that?" asked Ki Kerti while trying to reach the source of that voice.
"Better you don't know me, Oldman. Are you willing to get your sight, Oldman?" asked the voice.
"Yes, I do. I really want it! But how? I was born like this. It is impossible!"
"You will just see, Oldman. Everything is possible. But you have to promise me not to tell anyone about my existence. I am in a meditation. Never let people know about me."
"I promise. I promise you!" said Ki Kerti falteringly. His hands still trying to reach that voice but no one there.
"You brought your knife, don't you, Oldman? Try to give a slice on your seat. There must be liquid out of your slice, then spread it into your eyes."
Believed it or not, Ki Kerti sliced his seat. It was like the voice said, there will be liquid then. Ki Kerti quickly spread the liquid into his eyes. And suddenly Ki Kerti got his sight. Seeing the surrounding happily until he saw that his seat is a giant snake. Its head was covered by leaves. Ki Kerti then walked away.
"Don't be afraid, Oldman. I am Joko Baru. Please promise me before you go!"
I..I..promise you, Joko Baru. Thank you very much. I am leaving." Ki Kerti said while he ran away.
Arrived to the village, people did not believe in what happened to Ki Kerti. Because of his very happiness, Ki Kerti told them what he got. Ki Kerti still did not realize that he broke his promise. Ki Demang Ranu Klindungan very delightful hearing the story from Ki Kerti. People will have giant snake for their ceremony.
"Ki Kerti, where was the giant snake?" asked Ki Demang Ranu Klindungan enthusiastically.
"In the east part of the forest. You will find him near to a big fallen tree." Ki Kerti said while his hand pointed to the direction.
Just a few moment later, Ki Kerti's eyes suddenly closed on its own willing. His sight back to before, dark only. It was even can not be opened. And then Ki Kerti realized that he had been broken his promise to Joko Baru. Now he had to take the consequence. It was too late to realize. "What's wrong with your eyes, Ki Kerti?" asked Ki Demang. Ki Kerti then told him the truth. He told Ki Demang that his sight will lost if he tells people where Joko Baru is. Ki Demang Ranu Klindungan became very angry hearing Ki Kerti's story. He asked the villagers to hunt and to kill Joko Baru. That will became a great ceremony then.
People found Joko Baru. They chopped the giant snake into pieces. They were very satisfied with the hunting that was very easy. That was their first time to hold a big ceremony.
On the ceremony, people came to the House of the village. Ki Wongsopati led the prayer. And then followed by Ki Demang Ranu Klindungan to eat the dish made of people's crops. They really enjoy the meat also. It must be the giant snake that became the main course.
The fact that Joko Baru had been killed was heard by Kiai Syeh Begawan Nyampo. Not even Ki Demang Klindungan, Ki Wongsopati, and the villagers knew about that. Joko Baru was son of Kiai Syeh Begawan Nyampo. Kiai Syeh Begawan Nyampo really loves his son even in his current state. Kiai Syeh Begawan Nyampo then came to Java from Bawean island. He wanted to take a piece of his son's parts to give him better cemetery in Bawean.
In Ranu Klindungan village Kiai Syeh Begawan Nyampo watched many people enjoy the ceremony very much. Kiai Syeh Begawan Nyampo was very sad. He walked around the village to get any information. He was curious with the house at the edge of the village. Kiai Syeh Begawan Nyampo saw a widow sitting in front of her humble house. She is Nyai Le. Kiai Syeh walked closer.
"I saw them all enjoying the ceremony. Why don't you take part with them?" asked Kiai Syeh Begawan Nyampo.
"Have..have a sit, Kiai, I am afraid. Please, have a sit." said Nyai Le shocked of his sudden appearance. " I don't want join them eating that giant snake. They have just killed that giant snake. Whereas it that give a sight of Ki Kerti. I felt very sorry to the snake." added Nyai Le.
"That snake, he is my son, Joko Baru. I asked him to take meditation in Java to get his human form completely." said Kiai Syeh Begawan Nyampo with some tears.
"Your son? is he your son? I know. I guess show. It must be special snake I thought." said Nyai Le.
"I will head to Ki Demang asking for my son's part to give him better cemetery. Thank you for your kindheartedness, Nyai. You have canoe, don't you Nyai?"
"I have, Kiai. What for?"
"After I am leaving, you please sit on your canoe. Nyai will safe there."
"But, where will you..?"
Then Kiai Syeh Begawan Nyampo suddenly disappeared. Nyai Le took the canoe which she put in the backside of the house. Then she sat in the canoe like Kiai had asked her. It was uncommon for a person being in the canoe while in land.
Kiai Syeh Begawan Nyampo arrived in the ceremony. He told them what he was intending to. He just want to give him better cemetery. But people was mocking him. They mocked Kiai Syeh Begawan Nyampo while still enjoying the ceremony. They tried to attack Kiai Syeh Begawan Nyampo. Kiai Syeh Begawan Nyampo must did something.
"Listen to me, people of Ranu Klindungan. I will leave you all if you can defeat me. Let's make it in the field." Kiai Syeh Begawan Nyampo challenged them.
"How dare you? We are not afraid! Let's give him a learn!" said Ki Demang Ranu Klindungan angrily.
People obeyed to Ki Demang's order. They went to the wide field. Kiai Syeh Begawan Nyampo implanted a palm leaf rib on the field. People mocked him watching what he was doing/
"I will leave this village till you pull this rib out. Who dare to try?" said Kiai Syeh Begawan Nyampo.
"Are you nuts! Even a baby could pull it out." said somebody with athletic body while coming to the rib.
He looked like he could pull it out easily. But he can not. It even did not move. He tried again with full power and got the same, it did not move. He then back to the edge of the field.
Thus, every people tried to pull it out, and still the rib was not move anyway. No one succeed. The rib stand still on where it was. Kiai Syeh Begawan Nyampo made Ki Demang Ranu Klindungan mad being played by the rib. Even Ki Syeh Begawan Nyampo let him to make a try since his people were all fail to pull it out.
"Damn you. You want to fight me? Is that all you have? Implant all your ribs, I'll pull them all out!" said Ki Demang arogantly. Ki Demang realized that Kiai Syeh Begawan Nyampo had supernatural power, but he refused to admit it. It was too ashamed to admit Kiai Syeh Begawan Nyampo's strenth.
"Yes, Please, pull this one out first. Then I will give you the other." said Kiai Syeh Begawan Nyampo.
"Damn you!!!"
Ki Demang gave all his strength to pull the rib. He tried and tried but he fail, till he got exhausted. Watching all the fail by those people, Kiai Syeh Begawan Nyampo walked to the rib. All eyes were suddenly followed his move. Kiai Syeh Begawan Nyampo easily pull the rib out by a hand.
From the hole caused by the rib flowed water that comes bigger and bigger. People were unconscious till they realized that they were in the water. They screamed and run for their lives. Kiai Syeh Begawan Nyampo heard voices shouting her child, husband, and wife. And voice of asking help to Kiai Syeh Begawan Nyampo too. But that was all too late Their regrets were useless, Ranu Klindungan village suddenly became a lake.
Nyai Le landed at the edge of the higher land forest and then went out of the canoe. She tried to look for the village she used to be, but what she found was just water everywhere. No roof. No villagers too. Everything have sunk in the water. The village turned to a lake.
More
Less
Translation education
Bachelor's degree - University of Airlangga
Experience
Years of experience: 6. Registered at ProZ.com: Nov 2010.
Experienced Administration Staff with a demonstrated history of working in the education management industry. Skilled in Research, English, Microsoft Excel, Customer Service, and Microsoft Word. Strong operations professional with a Bachelor's Degree focused in Linguistics/Languages from Faculty of Humanities, Airlangga University.