This site uses cookies.
Some of these cookies are essential to the operation of the site,
while others help to improve your experience by providing insights into how the site is being used.
For more information, please see the ProZ.com privacy policy.
This person has a SecurePRO™ card. Because this person is not a ProZ.com Plus subscriber, to view his or her SecurePRO™ card you must be a ProZ.com Business member or Plus subscriber.
Affiliations
This person is not affiliated with any business or Blue Board record at ProZ.com.
Services
Translation, Editing/proofreading
Expertise
Specializes in:
Medical (general)
Rates
Portfolio
Sample translations submitted: 1
English to Indonesian: Global epidemiology and control of Trichomonas vaginalis General field: Medical
Source text - English Introduction
Trichomonas vaginalis, a motile protozoan, is the most common curable sexually transmitted infection (STI) worldwide, with an estimated 174 million new cases a year, of which 154 million occur in resource-limited settings. This compares to a global prevalence of 92 million cases of Chlamydia trachomatis and 62 million cases of Neisseria gonorrhoeae [1]. As up to one-third of female infections, and the majority of male infections, are asymptomatic its significance is often underestimated. However, T. vaginalis is associated with a number of significant reproductive health sequelae including pelvic inflammatory disease and adverse outcomes of pregnancy. In addition, it has been implicated in facilitating the sexual transmission of HIV. With the advent of
more sensitive diagnostic techniques, in particular polymerase chain reaction (PCR), it has become evident that the prevalence and incidence may have been underestimated. The World Health Organization estimated global prevalence figures are based on a wet mount microscopy sensitivity range of 60–80%, however recent data, using PCR suggests sensitivity may be lower
(35–60%), thus underestimating global prevalence [2]. PCR has allowed a greater understanding of the global epidemiology of T. vaginalis and raises concern about the potential impact on HIV transmission and the reproductive health of females.
Epidemiology
Whereas up to one-third of cases of T. vaginalis in females are thought to be asymptomatic, the majority develop symptoms and signs of vaginal discharge (clear to mucopurulent), vulval irritation and inflammation. Some females also describe lower abdominal pain and dysuria [3]. T. vaginalis in men is thought largely to be asymptomatic; however, trichomoniasis is a recognized cause of
urethritis (dysuria, urethral discharge, 5 polymorphs per high-power field on urethral Gram stain) and complications are described, for example prostatitis, epididymitis and infertility [4,5]. Female complications are more frequently described, in particular pelvic inflammatory disease in patients co-infected with HIV, cervical intraepithelial neoplasia and reproductive health sequelae including premature rupture of membranes, preterm delivery and low-birth-weight infants [6–8]. Recent studies, however, have found that the treatment of T. vaginalis infection in pregnancy does not improve pregnancy outcome and may be harmful [9–11]. Further
research is therefore required to confirm these associations and prove causality. Arguably the most significant of the complications of T. vaginalis is that it has been shown to increase transmission of HIV by up to 2-fold [12,13,14]. There are a number of possible mechanisms for this. First, infection with T. vaginalis results in an
inflammatory response, leading to recruitment of CD4 lymphocytes and macrophages to the vaginal and cervical mucosa [15,16]. Second, T. vaginalis has a directly cytopathic effect in vitro, resulting in punctate microhaemorrhages potentially compromising the mechanical barrier to HIV acquisition [17]. Third, T. vaginalis has been shown to be associated with increased viral load in
the seminal and cervico-vaginal compartments [18,19].
Viral load is recognized to be a significant risk factor for HIV transmission between discordant couples [20]. Finally, some studies have shown that T. vaginalis increases susceptibility to bacterial vaginosis or colonization with other abnormal vaginal flora which in turn could increase risk of HIV acquisition [21].
Symptoms may be related to protozoal load and it is possible, although not proven, that women with a high burden of infection are at a higher risk of complications. Alternatively, the duration of untreated infection may play a significant role in development of complications in females. Longitudinal cohort studies suggest that
T. vaginalis can persist in asymptomatic, untreated women for at least 3 months [3,22]. In men, inoculation experiments in three volunteers in the 1950s demonstrated that T. vaginalis could be isolated at 4, 44 and 94 days following inoculation [23]. A Zimbabwean study of symptomatic males with T. vaginalis found that 78% described symptoms for more than 4 weeks before diagnosis [24]. It is likely, however, that in asymptomatic
individuals the infection persists for longer, resulting in a potentially large reservoir of asymptomatic infection, high rates of re-infection and a higher community prevalence. The potential impact of this on the spread of HIV could be considerable [25].
Prevalence of T. vaginalis has been found to vary according to: geographical location; study setting, for example sexual health clinic or community setting; presence or absence of symptoms; population studied, for example ethnic group, age and sex; and diagnostic techniques used (see Tables 1 and 2 [3,4,9,26–54]). Direct comparisons between studies can therefore be difficult and can often not be generalized. Certain trends are evident, however.
Unlike Chlamydia trachomatis and Neisseria gonorrhoeae, the prevalence of T. vaginalis has been shown to increase with age in females and males [26,27,33]. This may be due to the asymptomatic nature of infection and the persistence of untreated infection.
Translation - Indonesian PENDAHULUAN
Trichomonas vaginalis, protozoa motil, adalah infeksi menular seksual (IMS) umum yang dapat disembuhkan di seluruh dunia, dengan perkiraan 174 juta kasus baru per tahun, yang 154 diantaranya terjadi pada kondisi dengan sumber daya yang terbatas. Angka ini berbanding dengan prevalensi global Chlamydia trachomatis sebanyak 92 juta kasus dan 62 juta kasus Neisseria gonorrhoeae [1]. Sebanyak dua per tiga infeksi pada wanita, dan mayoritas infeksi pada pria, bersifat asimptomatik sehingga maknanya sering tidak dianggap serius. Namun, T. vaginalis berhubungan dengan sejumlah sekuel kesehatan reproduksi yang signifikan seperti penyakit radang panggul dan akibat pada kehamilan yang tidak diinginkan. Selain itu, penyakit ini juga telah ditemukan dapat mempermudah transmisi seksual HIV. Dengan kemajuan teknik diagnistik yang lebih sensitif, saat ini adalah polymerase chain reaction (PCR), telah terbukti bahwa prevalensi dan insidennya telah tidak dianggap dengan serius. World Health Organization memperkirakan gambaran prevalensi global berdasarkan mikroskopis sediaan basah dengan sensitifitas 60-80%, namun data terbaru menggunakan PCR menunjukkan sensitivitasnya lebih rendah (35-60%), sehingga meremehkan prevalensi global [2]. PCR memungkinkan pemahaman lebih luas mengenai epidemologi global T. vaginalis dan meningkatkan perhatian tentang akibat potensial transmisi HIV dan kesehatan reproduksi wanita.
EPIDEMOLOGI
Sekitar sepertiga kasus T. vaginalis pada wanita diperkirakan bersifat asimptomatis, sebagian besar lainnya menunjukkan tanda dan gejala vaginal discharge (jernih sampai mukopurulen), iritasi dan inflamasi vulva. Beberapa wanita juga menyebutkan nyeri abdomen bawah dan disuria [3]. T. vaginalis pada pria sebagian besar diperkirakan asimptomatik; namun, trichomoniasis dikenal sebagai penyebab uretritis (disuria, uretral discharge, > 5 polimorfik tiap lapang pandang dengan pembesaran kuat pada pewarnaan Gram uretra) dan komplikasi seperti prostatitis, epididymitis dan infeltilitas [4**, 5]. Komplikasi pada wanita lebih sering ditemukan seperti penyakit radang panggul pada pasien dengan koinfeksi HIV, neoplasia cervix intraephtelial dan sekuel kesehaan reproduksi meliputi pecah ketuban dini, kelahiran preterm, dan bayi dengan berat lahir rendah [6-8]. Penelitian baru-baru ini telah menemukan bahwa terapi infeksi T. vaginalis pada kehamilan tidak memperbaiki efek penyakit ini pada kehamilan dan malah dapat membahayakan [9-11]. Oleh katena itu, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengkonfirmasi hubungan tersebut dan membuktikan hubungan sebab akibatnya. Komplikasi T. vaginalis yang paling signifikan adalah penyakit ini dapat meningkatkan transmisi HIV sebanyak dua kali lipat [12**, 13, 14]. Terdapat beberapa mekanisme yang mungkin terjadi untuk kondisi ini. Pertama, infeksi T. vaginalis meghasilkan respon inflamasi, menyebabkan perekrutan limfosit CD4 dan makrofag pada mukosa vagina dan cervix [15,16]. Kedua, T. vaginalis mempunyai efek sitopatik langsung secara in vitro, menghasilkan pungtata mikrohemorage yang berpotensial menurunkan penghalang mekanik bagi infeksi HIV [17]. Ketiga, T. vaginalis telah dibuktikan berhubungan dengan peningkatan viral load pada kompartemen seminal dan cervico-vaginal [18, 19]. Viral load diketahui sebagai faktor risiko signifikan transmisi HIV diantara pasangan yang tidak harmonis [20]. Yang terakhir, beberapa penelitian telah menunjuukan bahwa T. vaginalis meningkatkan kerentanan terhadap bacterial vaginosis atau kolonisasi dengan flora vagina abnormal yang dapat meningkatkan risiko infeksi HIV [21].
Gejala dapat berkaitan dengan beban protozoa dan mungkin saja, meskipun belum dibuktikan, bahwa wanita dengan beban infeksi besar berada pada risiko komplikasi yang lebih besar. Selain itu, durasi infeksi yang tidak diterapi dapat memainkan peran penting dalam perkembangan komplikasi pada wanita. Studi kohort longitudinal menunjukkan bahwa T. vaginalis dapat bertahan selama 3 bulan pada wanita yang asimptomatik dan tidak diterapi [3, 22]. Pada pria, percobaan inokulasi pada tiga relawan pada tahun 1950-an menunjukkan bahwa T. vaginalis dapat diisolasi pada 4, 44 dan 94 hari setelah inokulasi [23]. Studi di Zimbabwe pada pria dengan T. vaginalis simptomatis menemukan bahwa 78% merasakan gejala selama 4 minggu sebelum didiagnosis [24]. Sepertinya, pada individu asimptomatik, infeksi bertahan lebih lama sehingga menyebabkannya menjadi reservoir besar infeksi asimptomatik, tingkat reinfeksi tinggi dan prevalensi komunitas yang lebih tinggi. Akibat potensial dari penyakit ini terdapat persebaran HIV juga harus dipertimbangkan [25].
Prevalensi T. vaginalis diketahui berbeda sesuai dengan lokasi geografis; kondisi penelitian, sebagai contoh klinik kesehatan seksual atau kondisi komunitas; ada atau tidak adanya gejala; populasi yang diteliti, sebagai contoh grup etnis, usia dan jenis kelamin; dan teknik diagnostik yang digunakan (lihat Tabel 1 dan 2 [3, 4**, 9, 26-54]). Sehingga, perbandingan langsung antar studi menjadi sulit dan sering tidak bisa digeneralisasikan. Namun, telah terbukti ada beberapa kesamaan. Tidak seperti Chlamydia trachomatis dan Neisseria gonorrhoeae, prevalensi T. vaginalis telah menunjukkan peningkatan sesuai dengan usia pada pria dan wanita [26, 27, 33]. Hal ini mungkin disebabkan oleh sifat asimptomatiknya dan infeksi persisten yang tidak diterapi.
More
Less
Experience
Years of experience: 10. Registered at ProZ.com: Jun 2015.